Minggu, 07 April 2013

Echinostomiasis

Echinostoma

  1. Etiologi  
          Echinostoma
          Kingdom         :              Animalia
          Subkingdom    :              Eumetazoa
          (unranked)       :              Bilateria
          Superphylum   :              Platyzoa
          Phylum            :              Platyhelminthes
         Class                :              Trematoda
          Subclass          :              Digenea
         Order               :              Echinostomida
          Suborder         :              Echinostomata
           Family             :              Echinostomatidae
          Genus              :              Echinostoma
          (Rudolphi, 1809)

Echinostomiasis disebabkan oleh cacing trematoda dari genus Echinostoma (“echino” = berkerah; “stoma” = mulut). Kebanyakan spesies Echinostoma ditemukan pada burung.  15 sampai 20 spesies tersebut ditemukan pada usus burung seperti cormorant, grebe, burung hantu, murai, itik, angsa, pheasant, partridge, bangau, crane, dan elang.. Cacing trematoda yang termasuk famili Echinostomatidae ini terciri dengan adanya duri leher yang melingkar dalam sebaris atau dua baris yang melingkari batl isap kepala. Trematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk pipih seperti daun. Pada umumnya cacing ini bersifat hermaprodit, kecuali genus Schistosoma.

2. Morfologi
Panjang cacing kira-kira 10 – 12 mm dan lebar 2,25 mm. Memiliki spina kerah (head coller) yang terdiri dari 37 spina, dimana 5 diantaranya membentuk spina kutub dan kutikulanya membentuk spina di bagian anterior. Testisnya tandem, memanjang, lonjong atau sedikit berlobus, terletak di pertengahan badan dan di belakang ovari. Kantong sirrus terletak di antara percabangan sekum dan batil isap ventral. Telur berukuran panjang 90–126 mm dan lebar sampai 59–71 mm.


3. Siklus hidup
Pada dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase kehidupan dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk perkembangannya. Fase daur hidup tersebut adalah sebagai berikut:
Telur---meracidium---sporocyst---redia---cercaria—metacercaria---cacing dewasa.
hospes intermedier ke 1 berupa siput genus Physa, Lymnea, Heliosoma, Paludina dan segmentia. Dalam hospes intermedier tersebut meracidium membentuk sporocyst dan kemudian terbentuk redia induk, redia anak yang kemudian membentuk cercaria. Cercaria keluar dari siput berenang mencari hospes intermedier ke 2 yaitu jenis moluska (siput besar), planaria, ikan atau katak. Bila hospes intermedier dimakan orang maka orang akan terinfeksi. Cacing dewasa hidup dalam usus halus, telur keluar melalui feses dan kemudian menetas dalam waktu 3 minggu dan kemudian keluar meracidium yang berenang dalam air.
Mirasidium menembus bagian tubuh siput yang lunak untuk menuju ke ginjal dan berubah menjadi sporokista yang berbentuk kantong dengan panjang sekitar 0,5 mm. Kira-kira mulai 9 – 12 hari setelah infeksi, sporokista memproduksi satu atau dua redia induk setiap hari selama dua minggu. Redia induk ini mulai menghasilkan redia anak 19 – 23 hari setelah infeksi. Redia anak berpindah ke organ distal dan memproduksi serkaria yang mulai keluar dari siput 46 – 62 hari pasca infeksi. Serkaria akan membentuk metaserkaria dan mengkista.
Serkaria bisa keluar dari siput asal dan masuk ke siput lain yang memiliki spesies sama atau berlainan. Inang definitif akan terinfeksi apabila memakan siput ini dan cacing akan berkembang menjadi dewasa di dalam saluran pencernaan tubuh inang dalam jangka waktu 15 – 19 hari. 
Dimana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies cacing trematoda.




4. Host
       Host Intermediate dari Echinostoma : siput jenis Stagnicola palustris, Helisoma trivolvis, Physagyrina coccidentalis, P. oculans, Planorbis tenuis, Lymnaea stagnalis, L. swinhoei, Bulimus stagnicola dan Lymnaea rubiginosa.
         Host Definitif dari Echinostoma : cormorant, grebe, burung hantu, murai, itik, angsa, pheasant, partridge, bangau, crane, elang, mamalia, termasuk tikus air bahkan manusia di seluruh dunia.

5.  PATOGENESA
Biasanya cacing Echinostoma menyebabkan kerusakan ringan pada mukosa usus dan tidak menimbulkan gejala yang berarti. Infeksi berat menyebabkan timbulnya radang kataral pada dinding usus, atau ulserasi. Pada anak menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia dan edema.

6. PREDILEKSI
Daerah predileksi umum dari Echinostoma adalah usus, ductus biliverus unggas dan mamalia.


7. GEJALA KLINIS
         Gejala klinis dari ayam yang terinfestasi P. pellucidus adalah depresi, produksi telur turun, kerabang telur tipis dan lunak. Kloaka mense kresikan cairan seperti susu. Sekeliling bulu terlihat melekat pada kulit. Keluaran kloaka biasanya mengandung albumen, kuning telur dan bisa ditemukan parasit
  • Pada anak ayam menyebabkan perdarahan bercak-bercak pada tempat perlekatan acetabulum dengan permukaan mukosa usus  
  • Pada angsa menyebabkan enteritis katarrhalis.
  • Pada tikus menyebabkan hiperplasia kripta usus, atrofi vili-vili dan fibrosis pada jaringan subepithelial.
8. DIAGNOSA
       Diagnosa Echinostomiasis adalah berdasarkan gejala klinis. Infeksi yang berat dari Echinostoma menyebabkan  kekurusan, kelemahan dan diare pada unggas. Untuk memastikan diagnosa tersebut dapat dilakukan uji feses dengan mengidentifikasii keberadaan telur Echinostoma secara mikroskopis. Namun, ukuran telur yang cukup besar memiliki kemiripan dengan telur Fasciola sehingga diperlukan uji yang lebih spesifik.

NB : Echinostoma merupakan cacing yang menyebabkan penyakit Echinostomiasis yang menyerang bangsa burung bahkan pada manusia. Echinostoma sangat merugikan dan berdampak pada ekonomi karena dapat menyebabkan penurunan jumlah produksi telur dan diare pada unggas. Untuk mengetahui Echinostoma dapat dilakukan uji feses dengan mengidentifikasi keberadaan telur Echinostoma secara mikroskopis.
 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar